Apa saja yang termasuk pembatal puasa?
Berikut adalah rincian enam pembatal puasa diantaranya:
1. Makan dan minum dengan sengaja.
Hal
ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama[1].
Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke
dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang
bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan
atau diharamkan (seperti khomr dan rokok[2]), atau sesuatu yang tidak
ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu)[3]. Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“Dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Jika
orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah
batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Apabila
seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap
menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”[4]
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.”[5]
Yang
juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus.
Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena
injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum.[6]
Siapa
saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia
punya kewajiban mengqodho’ puasanya, tanpa ada kafaroh. Inilah pendapat
mayoritas ulama.[7]
2. Muntah dengan sengaja.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barangsiapa
yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada
qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib
baginya membayar qodho’.”[8]
3. Haidh dan nifas.
Apabila
seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa
baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap
berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Keluarnya
darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para
ulama.”[9]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا »
“Bukankah
kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan
puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.”[10]
Jika
wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasanya di
hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami dahulu juga mengalami
haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak
diperintahkan untuk mengqadha' shalat."[11] Berdasarkan kesepakatan para
ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas wajib mengqodho’
puasanya ketika ia suci.[12]
4. Keluarnya mani dengan sengaja.
Artinya
mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti
mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya
pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini
menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan
kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى
“(Allah
Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan
syahwat karena-Ku”[13]. Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk
syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan
minum.[14]
Jika
seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika
tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang
istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai
berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal.[15]
Lalu
bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu
keluar mani? Jawabnya, puasanya tidak batal.[16] Alasannya, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا ، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya”[17]
5. Berniat membatalkan puasa.
Jika
seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan
berpuasa. Jika telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan
puasa dan dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal,
walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum. Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”[18] Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.”[19] Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya.[20]
6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.
Berjima’
dengan pasangan di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa, wajib
mengqodho’ dan menunaikan kafaroh. Namun hal ini berlaku jika memenuhi
dua syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk
berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan untuk
tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan
untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat
untuk berpuasa namun tetap nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya
di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qodho’ dan tidak ada
kafaroh.[21]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
بَيْنَمَا
نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - إِذْ جَاءَهُ
رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » .
قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » .
قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ
سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ - صلى الله
عليه وسلم - ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ - صلى
الله عليه وسلم - بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ - وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ -
قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا
فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا
رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا - يُرِيدُ
الْحَرَّتَيْنِ - أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ
النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ «
أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »
“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah
menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang
budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu
berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat
memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab,
“Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu
wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata,“Di
mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya,
aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan,
“Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai
Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur
hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut
pada keluargamu.”[22]
Menurut
mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan
dan tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau dubur) bagi orang yang
berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja
dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya
batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan menunaikan kafaroh.
Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak
hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal,
tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun yang
nanti jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya
sama-sama dikenai kafaroh.
Pendapat
yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam
Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa wanita yang diajak bersetubuh
di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh
adalah si pria. Alasannya, dalam hadits di atas, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari
untuk membayar kafaroh sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa
seandainya wanita memiliki kewajiban kafaroh, maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya.
Selain itu, kafaroh adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh
dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar.[23]
Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.
1. Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
2. Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
3. Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud[24] makanan.[25]
Jika
orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu
melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun
tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan)
dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan
dari An Nawawi rahimahullah.[26]
Semoga sajian ini bermanfaat.
Popular Posts
-
Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang banyak sekali memiliki tempat wisata alam yang saat ini telah menjadi destinasi tujuan pa...
-
Wisata Bahari Lamongan merupakan salah satu wisata unggulan propinsi Jawa Timur yang berada di Lamongan. Wisata ini merupakan wisata yang...
-
kali ini saya akan mengposting cara Membuat Welcome Box untuk blogger . Pertama kalian harus buka edit HTML ==> setelah itu find c...
-
Pertama kalian menuju ke situs Hootsuite lalu daftar gan. Cara daftarnya gampang bisa pake akun Facebook atau pake email gan. Tinggal d...
-
Pantai Papuma merupakan salah satu pantai eksotik yang ada di Jawa Timur. Pantai berada di Desa Lojejer kecamatan Wuluhan kabupaten Jembe...
-
Gunung Ijen merupakan salah satu gunung yang menjadi tujuan wisata utama bagi para traveller maupun para wisatawan, baik wisatawan domes...
-
Jawa Timur Park merupakan obyek wisata yang berupa taman rekreasi dan belajar yang ada di kota Malang. Tempat rekreasi ini berada di Jala...
-
Dr. Rhenald Kasali dalam kata pengantar buku 50 Usahawan Tahan Banting, Kiat Sukses di Masa Krisis menyarikan kiat s...
-
Download PointBlank Offline 2015 - REPACK - PointBlank Offline adalah game yang bergenre FPS, nah PointBlank sebenarnya adalah game ...
-
Rasulullah Saw ditanya tentang peranan kedua orang tua. Beliau lalu menjawab, "Mereka adalah (yang menyebabkan) ...